Rohil (wartapesisir) — Ratusan masyarakat Kepenghuluan Pedamaran, Kecamatan Pekaitan, Rokan Hilir (Rohil) bersama tokoh masyarakat datangi lokasi perkebunan swasta PT. Jatim Jaya Perkasa (JJP), Minggu (5/4/2020).
Kedatangan masyarakat di PT JJP tersebut untuk merebut kembali lahan garapan masyarakat dan lahan desa yang diduga telah diserobot pihak perusahaan.
Menurut tokoh masyarakat Kepenghuluan Pedamaran yang juga mantan Penghulu Pedamaran (2003-2017), Ali Marwin, AR yang turut serta melakukan aksi tersebut mengatakan bahwa, lahan yang saat ini digarap oleh pihak perusahaan PT. JJP diluar HGU perusahaan dan merupakan lahan Desa yang pernah digarap oleh masyarakat serta lahan LKMD seluas 654 Hektar.
“Kami dari masyarakat Pedamaran akan merebut kembali lahan masyarakat yang telah diserobot pihak Perusahaan PT. Jatim, karena lahan yang sudah ditanami pihak perusahaan itu merupakan lahan garapan masyarakat yang dulu kami sebut lahan LKMD,” kata Ali Marwin.
Ali Marwin mengatakan, lahan tersebut sudah ada suratnya. Bahkan, pajaknya juga dibayar oleh masyarakat sejak tahun 2008 sampai tahun 2019.
“Kami turun kelokasi ini karena akan memasang plank bahwa lahan ini milik masyarakat tapi kondisinya saat ini sudah ditanami oleh pihak perusahaan,”terangnya.
Kemarahan masyarakat ini lanjutnya, dipicu karena masyarakat dapat kabar bahwa pihak perusahaan membuat surat atas lahan tersebut sebanyak 500 surat yang akan ditanda tangani Penghulu Pedamaran sekarang tanpa sepengetahuan masyarakat.
Ali Marwin juga menceritakan kronologis sejarah kenapa lahan yang diserobot PT. JJP tersebut sebahagian dinamakan lahan LKMD. Hal itu katanya, berawal dari masa pemerintahannya dimana pihak dari perusahaan bernama Ibnu Kaldun yang saat itu menjabat sebagai humas di PT. JJP serta dua orang rekannya Hendry. T alias Acan dan Andi mengundang pihak kepenghuluan Pedamaran untuk membahas kerjasama dengan sistem bagi hasil dari hasil pengelolaan lahan diatas lahan masyarakat yang dinamakan lahan LKMD oleh pihak perusahaan.
Adapun rencana pengelolaan kebun sawit tersebut menurut Ali Marwin, berdasarkan hasil musyawarah atas nama Koperasi Pedamaran Jaya diatas lahan LKMD dan lahan desa seluas 654 Ha dengan pembagian 60-40. 60 persen untuk masyarakat dan 40 persen untuk perusahaan. Kedua belah pihak membuat RAB dan surat persetujuan kepada Bupati H. Annas Maamun, namun kesepakatan kerjasama tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari Bupati.
“Pada Tahun 2008, masyarakat Kepenghuluan Pedamaran dan saya sebagai Penghulu saat itu diundang oleh tiga orang pihak perusahaan PT.Jatim ke perusahaan untuk membahas kerjasama bagi hasil dari tanaman sawit yang memanfaatkan lahan masyarakat yang sudah digarap. Pihak perusahaan memberi nama lahan tersebut sebagai lahan LKMD dengan luas lahan yang sudah disurati hampir mencapai 500 Ha, dan sisanya lahan desa.,” terang Ali.
Pada saat itu katanya, pihak perusahaan dan masyarakat melakukan pengukuran dari batas akhir HGU di M7 ke wilayah lahan masyarakat dan desa seluas 654 Hektar.
Namun kesepakatan bagi hasil 60 persen – 40 pesen yang kami buat gagal karena tidak mendapat persetujuan dari Bupati masa itu. Akhirnya lahan tersebut digarap secara mandiri oleh masyarakat dan ditanami berbagai tanaman. Namun lahan tersebut saat ini sudah ditanami dan dikuasai perusahaan sampai ke M9 padahal HGUnya hanya batas M7,” ungkapnya.
Pemerintah Kepenghuluan Pedamaran melalui Sekretaris Desa (Sekdes) Wan Ashari yang turut hadir pada aksi massa turun ke lokasi Perusahaan PT.JJP mengakui bahwa, lahan yang diklaim perusahaan tersebut memang lahan yang sudah pernah digarap oleh masyarakat Pedamaran jauh sebelum adanya HGU perusahaan.
“Sejak zaman nenek moyang kami sampai saya lahir di Kepenghuluan Pedamaran ini tidak tau yang namanya perusahaan PT. Jatim. Jadi jauh sebelum adanya perusahaan ini kami masyarakat sudah mengelola lahan yang ada di Kepenghuluan ini termasuk lahan yang sudah saya kelola bersama keluarga dari Tahun 1998 habis diklaim PT.JJP padahal lahan tersebut diluar HGU perusahaan yang hanya sampai M7,” kata Wan Ashari.
Sebagai anak daerah dan juga pemerintah desa lanjuntnya, akan terus mendukung masyarakat untuk memperjuangkan hak masyarakat yang telah dirampas perusahaan.
“Kami mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak perusahaan dan mengawasi masyarakat agar tidak bertindak anarkis. Mereka hanya minta hak mereka dikembalikan, walaupun lahan mereka sudah dikuasai perusahaan yang hampir 500 Hektar tersebut masyarakat tetap membayar pajaknya sejak Tahun 2008 sampai 2019,” pungkasnya.