wartapesisir.com, Kepulauan Seribu – Akhir tahun ini para nelayan di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Pari, dikejutkan dengan sampah-sampah yang berdatangan ke wilayah mereka. Sampah yang didominasi plastik itu bercampur dengan limbah pax -semacam minyak berwarna hitam- yang tidak ketahui dari mana asalnya.
Dalam sehari warga setempat bisa mengangkut sampah dari laut sebanyak 400 ton. Kondisi ini semakin membuat para nelayan di Pulau Pari nelangsa. Ketika awak media berbincang dengan beberapa nelayan di sana, mendengar keluhan yang mereka rasakan.
Ikan-ikan yang mereka cari kini semakin sulit didapatkan. Malahan, sampah-sampah plastik itu yang kadang lebih mudah terjaring.
“Sering banget sampah masuk ke bubu (semacam jaring). Kalau kita kan sehari-harinya masang bubu. Kalau kita salah masang aja, biasanya masang arus timur, si sampah itu enggak masuk bubu, tapi pas arus balik sampah itu bisa masuk ke bubu. Bubu itu dipasang di dasar laut 45-50 meter,” tutur seorang nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Suryadi, saat ditemui di kediamannya, Senin (3/12).
Nyatanya bukan hanya Suryadi seorang, nelayan bernama Erwin juga bernasib serupa. Sebagai warga kepulauan, tidak ada pekerjaan utama yang bisa dilakukan Erwin selain menjadi seorang Nelayan
Dari senja kala, menembus malam, dan kemudian menyongsong pagi Erwin selalu berlayar ke lautan. Namun, apa daya laut yang telah lama menjadi sahabatnya kini telah berubah. Sumber kehidupan yang diharap-harap Erwin datang dari lautan kini tengah “dikolonisasi” sampah-sampah.
“Sering sekali mau nangkap ikan malah dapatnya sampah,” kata Erwin kepada kumparan.
Serbuan sampah telah mengancam kehidupan nelayan di Jakarta. Budidaya-budidaya perairan yang telah lama mereka jalankan kini dirusak sampah.
Padahal, dari keterangan kepala RT setempat, Edi Mulyono, masyarakat di Pulau Pari sudah menjalankan tradisi untuk tidak membuang sampah di laut. Di setiap halaman rumah warga, terpasang tong-tong yang difungsikan untuk menampung sampah.
“Kayak rumput laut kalau ketutup sampah mati juga. Terus nelayan tangkap kalau plastik-plastiknya kayak gitu otomatis hasil tangkapannya juga berkurang. Karena pancing jaring kena plastik, ketutup plastik,” sebut Edi
Hasil tangkapan yang berkurang berdampak besar bagi para nelayan. Dulu, mudah saja bagi nelayan seperti Suryadi untuk mendapat keuntungan Rp 700 ribu hingga Rp 800 ribu dari menangkap ikan di laut. Akan tetapi, kini karena sampah plastik telah mencemari, Suryadi bisa saja pulang dengan tangan hampa alias tak mendapat ikan sama sekali.
Hal itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi berulang kali ketika laut yang dicintainya telah terpapar sampah, terutama plastik. Padahal di rumahnya ada keluarga yang harus dihidupi, yaitu istri dan tiga orang anaknya.
Tidak memuaskan, itulah yang dirasa Suryadi dan rekan-rekannya ketika melaut saat ini. Malang, dia tidak tahu dari mana asalnya sampah-sampah yang bermuara di lingkungannya. Suryadi hanyalah nelayan yang seolah menjadi korban.
Di sisi lain, Edi yang sehari menjadi pemimpin masyarakaat Pulau Pari menduga sampah-sampah itu datang dari daratan bukan masyarakat kepulauan.
“Kalau sampah plastiknya bisa saya katakan mungkin dari dugaan saya dari 13 aliran sungai yang ada di Tangerang, Jakarta, dan Bekasi. Itu dugaan sementara. Karena setiap tahun, di pulau-pulau khususnya Kepulauan Seribu itu hampir setiap tahun mendapatkan sampah kiriman. Tahun ini saja Pulau Pari sudah tiga kali mendapatkan sampah kiriman entah dari mana asalnya,” urai Edi.
Dengan adanya kiriman sampah plastik itu, Edi dan warganya tak bisa berbuat banyak. Yang bisa dia lakukan hanyalah bergotong royong mengangkat sampah-sampah plastik itu. Dan, begitu saja seterusnya meski lelah kadang mendera.
Terkait hal itu, Mudra petugas PPSU Pulau Pari mengaku harus turun ke laut membantu membersihkan sampah. Padahal Mudra hanya bertanggung jawab untuk wilayah daratan.
Keprihatin terhadap kiriman sampah yang menyerbu lingkungannya membuat Mudra turun ke laut meskipun di usianya yang telah senja, yakni 50 tahun. Kalau sudah begini, lantas kepada siapa masyarakat Pulau Pari harus mengadu?
34 tahun sudah Edi mendiami Pulau Pari. Kampung halamannya itu menurutnya kini telah berbeda. Namun, bukan beda yang mendatangkan bahagia melainkan nelangsa.
“Dulu itu sampah enggak begitu banyak yang ada di laut. Paling beberapa. Tapi semakin ke sini jumlah sampah yang ada di laut itu semakin bertambah. Berarti otomatis itu akan mengancam keberlangsungan hidup di laut terutama habitat ikan dan lain-lain,” ungkap Edi.
Bila dibiarkan lama-lama, laut bukan tidak mungkin sepenuhnya akan ditutupi oleh sampah, terutama plastik yang menjadi biang utama. Regulasi yang jelas dan implementasi yang nyata diperlukan untuk mencegah tragedi ini.
Dalam waktu dekat mungkin tidak terasa, tapi bagaimana dengan anak cucu Edi ke depannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus berselancar di benak mereka.
Pun, bagi Suryadi. Dari sebelum dia lulus SD tahun 80-an dulu, dia sudah menjadi nelayan. Menurutnya lautan di Pulau Pari adalah gugusan air yang asri. Hanya sebentar saja melaut, banyak ikan berhasil dia dapatkan. Ikan itu bisa dia gunakan untuk makan, bahkan dijual untuk menambah uang jajan.
Akan tetapi, Pulau Pari kini perlahan telah berubah. Hewan dan biota laut yang menjadi sumber kehidupan kini telah didesak oleh sampah.
Melihat hal ini, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi bersama dengan warga Pulau Pari terus mengkampanyekan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke pesisir atau lautan.
“Kita tahu bahwa masyarakat Pulau Pari sudah sangat arif melaksanakan pengelolaan pulaunya. Mereka saat ini juga sedang berjuang melawan Jakarta darurat sampah. Mereka menginginkan pulau mereka itu nol sampah, tidak ada lagi sampah,” Bagus menguraikan kepada kumparan saat berbincang di Pulau Pari.
Petugas dinas Pemprov DKI Jakarta saat membersihkan sampah teluk Jakarta. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Bagus menambahkan, sampah-sampah yang didominasi plastik itu akan berdampak bahaya bagi masyarakat Pulau Pari. Yang paling parah adalah ancaman kerusakan ekosistem lingkungan. Bila sudah terjadi, sumber penghidupan masyarakat sekitar perlahan akan kabur, ujung-ujungnya hanya kerugian yang didapat.
“Makanya orang pulau begini enggak bisa dipisahkan dengan laut. Kalau buang limbah jangan sembarangan ke sungai atau ke laut, itu akibatnya fatal buat masyarakat Pulau Seribu,” kata Suryadi. (***)