Oleh : Masrul Gusti
WARTA PESISIR– Pengalokasian Dana Desa (DD) oleh pemerintah pusat kepada setiap Desa merupakan bentuk riil perhatian negara terhadap keberadaan Desa atau nama lainnya.
Dengan Dana Desa maka Implementasi terhadap hak asal usul serta kewenangan lokal berskala desa sudah dapat dilihat dan dinikmati oleh masyarakat secara nyata.
Sejak tahun 2015 sampai 2019, total pemerintah telah menggelontorkan dana desa sebesar 257 triliun.
Secara rinci, uang yang dikucurkan pemerintah adalah, Rp 20,67 triliun (2015), Rp 46,98 triliun (2016), Rp 60 triliun (2017), Rp 60 triliun (2018), dan Rp 70 triliun (2019).
Pemerintah bertekad mengalokasikan anggaran dana desa dengan total Rp 400 triliun selama 5 tahun ke depan hingga 2024.
Selain Dana Desa yang bersumber dari APBN, Pemerintahan Desa juga menerima suplai dana rutin yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota yang dinamakan Alokasi Dana Desa (ADD).
Besarnya anggaran dana desa ternyata berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penyelewengan dana desa itu sendiri.
Mengutip pernyataan Presiden Jokowi pada tahun 2017 lalu, katanya dari sekitar 74.000Desa, kurang lebih 900 kepala desa ditangkap karena penyelewengan dana desa. sementara untuk tahun 2018 dan 2019 belum ada rilis resmi dari pemerintah maupun lembaga berwenang lainnya.
Data tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa kepala desa adalah pejabat yang mendominasi dalam kasus korupsi Dana Desa maupun Alokasi Dana Desa ini.
Fakta ini tentu sangat mengecewakan, mengingat kepala desa merupakan orang-orang pilihan masyarakat dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa yang memiliki peran dan fungsi sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan dan pelaksanaan dana desa.
Apabila diteliti lebih detail lagi, tugas kepala desa tidak hanya berhenti pada pengelolaan dan pelaksanaan dana desa saja, sebab jika merujuk pada Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Undang Undang tersebut dipertegas pada PP nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU Desa dan PP 47 tahun 2015 tentang perubahan dari PP 43 tersebut.
Artinya di dalam hal ini tugas substantif yang harus dilakukan oleh kepala desa adalah mengelola Dana Desa sebaik mungkin untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Ada beberapa faktor terjadinya korupsi dana desa ini. Bagi penulis, faktor yang menarik untuk dikaji, yaitu minimnya partisifasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan, serta tingginya ongkos politik.
Minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan ini, karena faktor ketidaktahuan masyarakat yang sengaja diciptakan, kemudian ketidaktahuan masyarakat itu dimanfaatkan oleh oknum Kepala Desa untuk melakukan praktik korupsi Dana Desa itu.
Berkaitan dengan tingginya biaya politik, ini merupakan realitas. ongkos politik untuk menjadi seorang kepala Desa relatif mahal.
Ongkos yang mahal inilah kemudian mendorong terbentuknya motif mengembalikan defisit anggaran melalui proses korupsi setelah berhasil menjabat.
Bekaitan dengan itu, meningkatnya anggaran desa setiap tahunnya, juga jadi pemicu meningkat drastisnya minat dari berbagai pihak untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa meski tanpa komitmen yang jelas untuk membangun desa. (****)
Topik : Dana Desa dan Alokasi
Dana Desa
Kategori. : Opini
Data. : Dirangkum dari Berbagai Sumber